3.11.10

Overload

Akhir-akhir ini, saya merasa semakin kekenyangan informasi. Saya merasa begah dengan segala serangan informasi dari beragam media. Dan merasa ingin muntah.

Saya bagaikan orang yang menonton sebuah film reality aneh di bioskop. Film yang sutradara, kameraman dan editornya makan gaji buta, hingga film menjadi kacau. Adegan per adegan datang dari kiri ke kanan, atas ke bawah, atau sebaliknya dan semua berebut muncul di hadapan. Tanpa henti, tanpa jeda. Semua membuat pusing dan merasa tidak berdaya. Akibatnya, saya menjalani hidup ini seperti penonton. Dan hidup ini pun terasa menjadi film itu sendiri, atau sebaliknya.

Saya mencoba membahas ini dengan seseorang. Jujur, saya tidak tau pernah membahasnya dengan seseorang, atau saya hanya berbicara pada pikiran saya sendiri. Intinya, saya pernah memikirkan mengapa segala informasi ini, dan hidup saya menjadi seperti film. (di saat ini, tiba-tiba otak saya menyanyikan lagu "when everything seems like a movie" dan berkelebat tulisan "go go dols, Irish").

Dalam pembahasan tersebut, muncul kesimpulan, saya adalah golongan orang jadul (jaman dulu). Golongan orang yang tidak siap masuk ke dalam abad informasi seperti saat ini. Orang yang tidak memiliki atau tidak cukup kemampuan mengikuti era informasi ini.

Memang kemampuan apa yang wajib kita butuhkan untuk menghadapi era informasi ini? Filter..!! (jawaban yang muncul tiba-tiba, disertai gambar rokok gudang garam filter yang juga tiba-tiba).

Filter akan informasi yang kita terima. Yang mau kita terima. Yang butuh kita terima.

Beberapa tahun sebelumnya, kita punya surat kabar langganan yang bertugas memfilter informasi tersebut. Badan sensor, TVRI, Departemen Penerangan yang memfilter apa yang boleh dan tidak boleh kita tonton. (Gambar Soeharto tiba-tiba muncul). Yang kini semua telah tiada. Almarhum.

Ditambah dengan teknologi yang kini menjadi keran baru informasi. Internet. (Gambar keran tidak muncul, tapi gorong-gorong penuh air yang mengalir deras muncul, belum sempat terpikir, langsung berganti gambar tsunami yang menghempas saya dalam ombang-ambing kebingungan. Ya, ada gambar saya di situ.)

Saya benar-benar butuh filter dan penghenti. Saya sudah terlalu tergila-gila pada internet, akan informasi, haus update, ga sabaran. Saya cepat bosan, yang menjadi sifat orang jaman sekarang. (saya batalkan kan untuk memberi contoh, tentu saya akan bosan juga. Di sekeliling kita contoh itu banyak).

Saya merindukan hidup tentram. Hidup layaknya orang tua saya di rumah. Tapi saya tidak mau juga ketinggalan informasi. Informasi yang saya butuhkan untuk bekerja, hidup, dan mendapatkan kesenangan. Saya hanya butuh penyaring informasi. Saya hanya butuh sesuatu yang membuat saya berhenti mencari tau. Berhenti mencari update.

Semua ini pembenaran akan rencana saya berlangganan koran. Mungkin Kompas. Bukan versi digital, karena tidak akan ada selesainya. Dan saya tidak mau juga seperti tukang koran keranjingan, yang memegang semua koran di tangan dan membacanya.

Tiba-tiba terlintas salah satu proyek pembuatan website untuk sebuah instansi pemerintah yang sedang saya kerjakan. Saya diminta untuk tidak meng-online-kannya. Alasannya, nilai perkerjaan saya terlalu kecil katanya. Padahal menurut saya, harganya cukup untuk membuat dua website sekaligus. Tapi tidak untuk mereka, karena katanya, untuk membuatnya online, anggaran yang digunakan seharusnya lima kali lebih besar.

Ya, pikiran saya sedang kacau.